Jejak18news.com – Keikhlasan, kejujuran dan keyakinan adalah dasar utama untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Sehingga apa saja yang berlawanan dengan keikhlasan, kejujuran dan keyakinan itu tidak mungkin dapat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Maka kebohongan, kecurangan dan kemunafikan merupakan sikap yang dibenci oleh Tuhan.
Seperti halnya kesombongan atau kepongahan, tidak mungkin dapat menghantar seseorang untuk merunduk dan sujud dihadapan Tuhan. Apalagi untuk manusia yang acap merasa telah menjadi Tuhan. Ingin disembah dan dipuja-puja seperti tidak mempunyai dosa maupun kesalahan sedikitpun.
Begitulah kekuasaan yang memabukkan. Berbagai upaya dan cara diusahakan untuk menggamit kekuasaan sekedar untuk dapat berbuat sekehendak hati dari apa yang diinginkan sesuai nafsu serakah yang membalut hati itu. Dalam rangkaian hasrat dan birahi serupa ini, sulit untuk dijawab ikhwal kebahagiaan seperti apa nikmatnya dalam upaya merebut kekuasaan dengan cara yang culas dan curang itu. Sebab kebahagiaan yang diperoleh dengan cara merebut secara culas dan curang dari orang lain itu, hanta akan memberi kesenangan dan kebahagiaan yang semu.
Akan menjadi sangat lain sensasinya bila kekalahan dalam bentuk apapun itu bisa diterima sebagai bagian dari hikmah yang kelak akan memberi banyak manfaat, baik untuk diri sendiri maupun bagi orang lain. Tentu saja keyakinan serupa ini bisa saja dipahami sebagai sesuatu yang naib. Tidak masuk, akal. Padahal, realitasnya memang begitu adanya, bahwa tidak semua bisa dicerna oleh akal. Itu sebabnya keberadaan akal pun acap perlu ditambah oleh “budi” supaya dapat diteruskan pencercapannya oleh hati bersama nurani. Dan agaknya, hati nurani itu sendiri yang dimaksudkan oleh akhlak mulia yang ada di dalam diri setiap manusia.
Masalahnya, potensi dari akhlak mulia yang ada dalam diri setiap manusia ini tidak sepenuhnya mampu difungsikan, karena memang acap diabaikan. Apalagi hendak dirawat dan dikembangkan daya getarnya agar dapat menjadi motor pembangkit etika, moral yang menjadi komponen utama dari vibrasi akhlak yang hanya mungkin diketahui dari hasil kerjanya semata.
Jadi betapa dahsyat karunia dan potensi yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia dibanding makhluk ciptaannya yang lain. Termasuk Malaikat hingga hewan yang paling gagah sekalipun, mampu ditaklukkan oleh akal manusia yang mampu didayagunakan dengan baik. Maka itu akal dan insting hingga rasa yang mampu memberi isyarat melalui firasat, membuktikan bahwa manusia sungguh layak disebut khalifatullah fir ardi.
Persoalannya hasrat manusia yang liar dan tidak mampu dikendalikan itu telah menjadi penyulut kerakusan dan ketamakan tidak hanya dalam harta dan benda — material — tetapi juga birahi immaterial seperti egosentrisitas serta kekuasaan yang acap melampaui kekuasaan Tuhan.
Setidaknya dalam perilaku hakim — pada semua tingkatan — yang diharap mampu menjaga rasa keadilan sungguh sedemikian banyak yang bertindak untuk kepentingan dirinya sendiri atau menghamba pada kehendak rezim penguasa yang korup, despotik serta hipokrit hanya demi dan untuk kelanggengan dari kekuasaannya.
Lalu pertanyaan yang dianggap absurd untuk dijawab, dimana hilangnya hati nurani mereka yang telah mengingkari nilai-nilai kemanusian yang luhur dan paling mulia itu dibanding makhluk lain di dunia ini ?
Nilai-nilai dasar dari manusia yang luhur dan mulia ini sedang anjlok, berada dibawah titik nol. Inilah keprihatinan sepanjang sejarah peradaban manusia di bumi, seperti yang sedang melantak negeri kita hari ini. Akibat kepongahan dari daya intelektual yang mengangkangi kecerdasan spiritual yang masih selalu dianggap tidak penting itu.