Pengampu Mata Kuliah Filsafat Ilmu : Prof. Turmudi, M.Ed., M.Sc., PhD.
Disusun oleh :
Mufarrido Husnah
Silmi Ghaida
Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika
Universitas Pendidikan Indonesia
Jejak18news.com – Pengetahuan bukan hanya sekadar keyakinan atau kebenaran. Untuk dianggap sebagai pengetahuan, keyakinan harus didasarkan pada justifikasi yang kuat. Dalam filsafat, pengetahuan dipahami sebagai kombinasi dari tiga elemen penting: kebenaran (true), keyakinan (belief), dan justifikasi (justified). Meskipun keyakinan bisa saja benar, tanpa justifikasi yang sahih, ia tidak memenuhi syarat sebagai pengetahuan.
Justifikasi ini menjadi elemen krusial dalam memastikan bahwa apa yang kita ketahui benar-benar dapat diterima sebagai pengetahuan. Salah satu pertanyaan utama dalam diskusi tentang pengetahuan adalah apa yang membuat suatu keyakinan sah. Misalnya, kita meyakini bahwa bumi mengelilingi matahari karena dibuktikan oleh penelitian ilmiah, tetapi justifikasi kita bergantung pada sumber-sumber seperti buku teks dan lembaga pendidikan, yang menunjukkan bahwa pembenaran seringkali kompleks dan memerlukan dasar yang kokoh.
Pembenaran memiliki sifat yang kompleks. Analoginya seperti rumah yang membutuhkan fondasi. Tanpa fondasi yang kuat, rumah akan runtuh, sebagaimana keyakinan tanpa alasan yang kokoh akan goyah.
Namun, mencari fondasi yang benar-benar kokoh untuk keyakinan sering kali mengarah pada tantangan besar. Sebagai contoh, keyakinan bahwa bumi mengelilingi matahari mungkin didukung oleh buku teks, tetapi bagaimana kita bisa yakin bahwa buku teks itu benar? Rantai pembenaran ini bisa terus berlanjut tanpa akhir, menciptakan tantangan filosofis yang mendalam.
Filsuf Yunani kuno, Agrippa, mengemukakan tiga pilihan tentang pembenaran yang dikenal sebagai Agrippa’s Trilemma. Pilihan tersebut adalah: keyakinan tanpa dasar, seperti rumah tanpa fondasi yang pasti akan runtuh; rantai alasan yang tidak berujung, di mana tidak ada titik akhir dalam pembenaran; dan pembenaran melingkar, di mana alasan untuk keyakinan kembali ke alasan awal, menciptakan lingkaran.
Ketiga opsi ini menunjukkan bahwa membangun pembenaran yang benar-benar kokoh bukanlah hal yang mudah. Untuk menjawab trilemma ini, filsuf mengembangkan tiga teori utama: infinitisme, Koherentisme, dan foundationalisme. Ketiga pendekatan ini menawarkan solusi yang berbeda terhadap masalah pembenaran. Pendukung infinitisme percaya bahwa rantai pembenaran yang tidak berujung dapat diterima selama setiap lasan dalam rantai tersebut dapat dibenarkan oleh alasan berikutnya. Meskipun pandangan ini jarang diterima karena bertentangan dengan intuisi kita tentang stabilitas, beberapa filsuf berpendapat bahwa tidak ada alasan logis untuk menolak gagasan ini. Namun, kekurangan utama dari infinitisme adalah pendekatan ini kurang praktis dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks pengambilan keputusan, manusia sering kali memerlukan kepastian yang cepat dan efisien, sedangkan infinitisme mengharuskan eksplorasi alasan yang tak berujung, sehingga sulit diterapkan dalam situasi yang memerlukan respons segera.
Sementara itu, Koherentisme menawarkan pendekatan yang menerima pembenaran melingkar, asalkan alasan-alasan dalam lingkaran tersebut cukup besar dan saling mendukung secara konsisten. Sebagai contoh, keyakinan bahwa bumi mengelilingi matahari dapat didukung oleh buku sains, penjelasan guru, dan hasil observasi ilmiah, yang secara bersama-sama saling memperkuat satu sama lain. Dalam kehidupan sehari-hari, Koherentisme memungkinkan seseorang untuk mengandalkan berbagai sumber informasi yang terhubung, sehingga lebih mudah untuk memperkuat keyakinan tertentu.
Namun, kekurangannya adalah bahwa sistem pembenaran melingkar ini dapat menjadi rapuh jika salah satu elemen yang menjadi penopang utama terbukti salah atau tidak akurat. Dalam praktik, hal ini dapat menyebabkan keruntuhan keyakinan secara keseluruhan, terutama jika tidak ada cukup banyak bukti lain yang mendukung.
Sebaliknya, foundationalisme menolak pembenaran melingkar dan rantai tanpa akhir. Pendekatan ini menyatakan bahwa ada keyakinan dasar yang tidak memerlukan pembenaran lebih lanjut, seperti proposisi terkenal “Aku berpikir, maka aku ada” yang diajukan oleh René Descartes (1596–1650).
Kelebihan foundationalisme adalah kemampuannya memberikan landasan yang kokoh bagi sistem keyakinan, sehingga menciptakan rasa kepastian yang stabil dalam penalaran. Dalam kehidupan sehari-hari, pendekatan ini membantu seseorang memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip mendasar yang dapat dijadikan pijakan untuk membangun keyakinan lain. Namun, tantangan utama foundationalisme adalah menentukan keyakinan mana yang layak dianggap sebagai keyakinan dasar yang tak terbantahkan.
Perbedaan perspektif individu maupun budaya sering kali menghasilkan ketidaksepakatan tentang apa yang dapat dijadikan landasan universal, sehingga membatasi penerapan foundationalisme dalam konteks yang lebih luas. Selain itu, pendekatan ini cenderung kurang fleksibel ketika menghadapi situasi atau informasi baru yang mungkin memerlukan revisi keyakinan dasar.
Diskusi tentang struktur pengetahuan tidak hanya relevan bagi para filsuf tetapi juga bagi masyarakat umum. Dalam era informasi, di mana kepercayaan terhadap sumber pengetahuan sering dipertanyakan, memahami dasar pembenaran menjadi semakin penting. Apakah keyakinan kita didasarkan pada alasan yang kuat atau hanya bergantung pada siklus pembenaran yang rapuh? Pertanyaan ini menantang kita untuk terus mengevaluasi keyakinan kita dan mencari dasar yang lebih kokoh. Struktur pengetahuan adalah fondasi dari cara kita memahami dunia.
Dengan menelaah dan memahami teori-teori seperti infinitisme, koherentisme, dan foundationalisme, kita tidak hanya memperkaya wawasan tetapi juga memperkuat kemampuan kita untuk berpikir kritis dalam menghadapi tantangan intelektual di kehidupan sehari-hari.